Pagi menjemput.
Aku kembali lagi meringkup
didalam selimut hangat ini. Seakan-akan mengodaku untuk tetap berada
didalamnya.
“Senja, cepatlah! Hari ini hari pertamamu bukan?” ujarnya.
Iya mungkin saja hari ini memang
hari yang pertama untukku. Tapi entah ada sebuah pertanyaan yang terus menempel
kedalam pikiranku ini. Untuk apa berusaha semaksimal mungkin mendapatkan nilai
yang sempurna, kalau pada akhirnya tidak digunakan untuk dimasa depan? Apa, ini
hanya pemikiranku yang masih tidak memikirkan jangka panjang?
“Senja ayooo naaak cepat.” Teriaknya lagi.
Semua orang tampak bergembira
untuk menyambut hari ini. Hari pertama masuk sekolah. Dan juga hari pertama
pemilihan sebuah jurusan. Untuk apa di kotak-kotakan begitu? Bukankah belajar
apa saja akan berdampak sama saja untuk kedepannya? Tidak semua murid IPA yang
di puja itu menjadi dokter bukan? Dan tidak selamanya murid IPS itu selalu
menjadi anak yang tidak keterima di jurusan IPA.
“Senja.”
“Hadir.” Ia kembali duduk.
Sama seperti biasa, semua orang
bercakap tidak jauh dari bola, cinta, dan acara seru tadi malam. Guru dengan
cueknya duduk didepan seakan-akan kericuhan kelas ini adalah hal biasa.
Bagaimana bisa seorang guru membiarkan ini. Terkadang dia juga acuh terhadap
murid-murid yang mencontek saat ulangan. Bagaimana mau maju kalau semua yang
negative ini di biarkan saja. Aneh sekali penduduk bangsa ini.
Seminggu berlalu.
Lihat dia, si anak pintar kelas.
Hanya karna nilainya yang sempurna membuat dirinya dibanggakan oleh segenap
orang. Nilai kesempurnaan itu membuatnya sombong, dan kadang tidak mau berbagi.
Sayang sekali, ke cerdasannya berlalu begitu saja. Belum lagi terkadang ia
memaksakan dirinya bangun sampai pagi hanya untuk menghafal rumus-rumus yang
ada di buku. Mungin hidupnya sudah terbiasa akan hafalan-hafalan dari buku-buku
tebal yang berisikan material dunia. Kelemahan yang ia miliki? Tidak peka akan
lingkungan. Kepintarannya itu membutakan perasaannya terhadap manusia lain.
Sayang sekali.
“ulangan akan dimulai jam 11.” Teriaknya sambil menaiki
kursi yang ia tarik kedepan kelas.
Kalau murid yang duduk dipojokan
itu. Dia hanyalah seorang murid yang dianggap tidak akan selamat di dunia luar.
Kenapa? Nilainya yang terkadang tidak memenuhi KKM itu membuatnya dilecehkan
guru-guru. Padahal bakatnya dalam menulis itu sungguh diatas murid-murid yang
lain. Karyanya itu kalau di bukukan tidak kalah kok dengan artis yang ada
diluar sana. Sayang saja karna ia tidak memiliki kesempurnaan nilai yang mereka
inginkan, bakatnya terpendam begitu saja.
“heh senja, besok malam ikut kan?”
murid yang baru saja menyapaku
itu, orang murid yang terkenal bandel disekolah. Guru-guru sudah muak akan
perlakuannya, padahal perlakuannya itu karna memang ia tidak mau mengikuti
orang lain. Ia lebih memilih untuk mempunyai jalurnya sendiri. Temannya
dimana-mana, aksesnya luas. Belum lagi yang anaknya mudah bergaul itu, cepat
sekali di terima orang lain untuk berteman. Rata-rata murid yang seperti dia
ini memang kurang perhatian dari orang tuanya. Namun, mereka sebetulnya
memiliki hati yang ikhlas, lebih ikhlas untuk membantu orang lain dari pada
murid-murid yang cerdas itu.
“yak, tolong kumpulkan semua kertas ulangan di meja depan
kiri kalian.”
Aku masih tidak tahu, kenapa
untuk dianggap oleh sebuah sekolah itu hanya dilihat dari sisi kesempurnaan
nilai? Kenapa tidak dari sisi lain? Apakah sebuah keharusan mereka yang
mempunyai nilai sempurna itu? Apakah itu sebuah jaminan untuk bertahan di dunia
kerja nanti?
“Senja.” Panggilnya. “kamu mau nilai kamu segini terus? Kamu
itu bisa lebih dari ini senja. Jangan membuang semua kepintaranmu senja” dengan
mukanya sedikit meraut.
Aku hanya bisa tersenyum. Pikiran
yang sangat dangkal untuk melihat seorang anak dari kesempurnaan nilainya.
Lihat dia, tulisannya yang begitu ajaib tidak pernah kalian anggap. Lihat dia, kecerdasan
dalam berbicara sehingga dapat menghasut segenap murid untuk mengikutinya tidak
juga kalian anggap. Hanya mereka tidak memiliki nilai sempurna itu.
Sempurna. Bahkan manusia sendiri
tidak ada yang sempurna. Untuk apa hanya menghabiskan hidup untuk mendapatkan
nilai yang sempurna itu tanpa belajar hal yang lebih penting dari itu. Hidup,
berbagi, mencari teman, mencari arti hidup. Untuk apa menjadi dokter hanya
karna tuntutan orang tua. Untuk apa bekerja di kantor hanya karna tidak tahu
apa yang harus dilakukan dalam hidup. Apa kalian akan membiarkan terus-terusan
bangsa ini menjadi bangsa yang bingung? Bingung dengan apa yang harusnya
dilakukan dalam hidup, bingung dengan cara membuang material yang sudah masuk
selama menuntut ilmu. Bingung menjadi jiwa yang bahagia.
Tidak, aku
tidak mau menjadi generasi itu. Aku lebih memilih menjadi orang yang berbeda
namun tau apa yang harus aku lakukan selama hidup. Dan menjadi jiwa yang
bahagia.
No comments:
Post a Comment